Public speaking sebagai komunikasi yang efektif
BELAJAR PUBLIC SPEAKING SEBAGAI KOMUNIKASI
YANG EFEKTIF
Oleh Salsa Fai Zatul Muna
ABSTRAK
Keterampilan berbicara di depan umum
atau public speaking masih belum sepenuhnya dimiliki oleh para siswa.
Keengganan tampil di depan publik ini akibat rendahnya rasa kepercayaan diri,
dan minimnya penguasaan teknik berbicara di depan umum. Ketidakmampuan ini
menyebabkan komunikasi yang seharusnya efektif, menjadi tergradasi. Bahkan
seringkali terjadi kesalahpahaman komunikasi di depan publik. Kesalahpahaman
ini didokumentasikan dan tersebar di dunia maya. Para siswa pun menjadi rentan
dengan tindakan perundungan atau bullying di dunia maya. Tim Pengabdian Kepada
Masyarakat Fakultas Ilmu Komunikasi bersama dengan kelompok Jurnalis Berbagi,
memberi pelatihan public speaking kepada para anak yatim. Public speaking
disampaikan dalam bentuk story telling agar lebih ringan dan mudah diterima
anak-anak. Selain sebagai bentuk pelayanan dan kepedulian terhadap masyarakat
sekitar, kegiatan ini juga sebagai bentuk implementasi ilmu dan wawasan dosen
dalam perkuliahan. Dari kegiatan ini menunjukkan kemampuan public speaking yang
dimulai dengan hal sederhana berupa storytelling, sangat tepat dilakukan dengan
sasaran anak-anak usia Sekolah Dasar. Anak-anak mampu mempraktikkan public
speaking dengan secara percaya diri menceritakan kembali cerita atau dongeng di
depan teman-teman, guru dan tim pendamping.
PENDAHULUAN
Beberapa
waktu lalu video dialog Presiden Joko Widodo dan siswa SD, anak yatim, dalam
acara pergelaran Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) Tahun 2017 di
Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, menjadi viral. Pada saat
itu, dalam pidatonya.Presiden mengangkat tema tentang kemaritiman. Presiden
secara spontan meminta seorang siswa kelas III SD menyebut nama-nama ikan.
Dengan terbata-bata, siswa tersebut mengucapkan beberapa nama ikan dengan
pengejaan yang salah. Kejadian tersebut mengundang tawa hadirin. Video dialog
berhadiah sepeda itu juga tersebar luas di dunia maya (Mardiastuti, 2017).
Banyak netizen yang menghakimi sekaligus bersimpati dengan siswa tersebut.
Video
peristiwa yang tersebar di dunia maya tersebut membawa dampak negatif kepada
anakanak. Anak-anak rentan mengalami perundungan (bullying). Bullying adalah
tindakan kasar yang dilakukan berulang kali oleh satu orang (atau kelompok)
terhadap orang lain. Perilaku menjadi pola dan berulang, bisa dalam bentuk
penganiayaan fisik maupun verbal. Bergosip, membuat orang lain sebagai lelucon,
mengkritik, mempermalukan mereka di depan umum merupakan perilaku bullying
(DeVito, 2013).
Dalam
menghindari perilaku bullying di dunia maya, maka peristiwa tersebut seharusnya
tidak perlu terulang. Anak-anak dalam hal ini para siswa perlu dibekali dengan
keterampilan berbicara di depan umum (public speaking). Pada praktiknya,
kemampuan public speaking kurang familiar pada generasi muda. Padahal public
speaking menjadi hal penting tidak hanya bagi orang dewasa tetapi juga bagi
para siswa. Ketidakpercayaan diri saat berbicara di depan umum ini juga terjadi
di negara maju. Hasil survei The People’s Almanac Book terhadap 3.000 warga
Amerika menemukan posisi teratas hal paling ditakuti yaitu berbicara di depan
publik (Muljanto, 2014).
Berbicara
untuk meningkatkan kualitas eksistensi bukan sekedar berbicara, tetapi
berbicara yang menarik, bernilai informasi, menghibur, dan berpengaruh (Bahar,
2016). Atas dasar itu, keterampilan berbicara di depan umum perlu dimiliki oleh
setiap orang. Public speaking berperan dalam penyampaian informasi dan teknik
komunikasi yang sangat dibutuhkan oleh semua orangdalam berbagai bidang
kegiatan (Puspita, 2017).
Public
speaking tidak hanya fokus pada kata-kata yang diucapkan tetapi juga bahasa
tubuh atausering disebut bahasa non-verbal. Tidak semua hal bisa dijelaskan
dengan kata-kata. Ada beberapa hal yang hanya bisa disampaikan dengan bahasa
tubuh. Untuk itulah penggunaan bahasa tubuh dalam public speaking sangat
diperlukan (Adha, 2016).
Seni
berkomunikasi yang efektif dan berhasil dapat dipelajari dan dilatih oleh semua
orang. Modal yang diperlukan adalah kerja keras serta teknik yang tepat.
Terdapat empat indikator untuk mengetahui efektifitas komunikasi yakni
menghasilkan pengertian atau pemahaman, menghasilkan kepuasan atau hiburan,
menghasilkan pengaruh pada sikap, dan menghasilkan hubungan yang lebih baik
lagi (Adha, 2016).
Dari
identifikasi data yang dipaparkan di atas, terdapat beberapa permasalahan
berikut ini yaitu keterampilan berbicara di depan umum siswa masih rendah
ditunjukkan dari sejumlah video yang viral di dunia maya. Kedua, bahwa
ketidakpercayaan diri berbicara di depan umum terjadi pada semua orang menjadi
penghambat dalam berkomunikasi secara efektif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan
Pengabdian Kepada Masyarakat berjudul “Pelatihan Public Speaking Sebagai
Komunikasi Yang Efektif” dimulai dengan menceritakan dongeng tentang “Semut
danKepompong”. Kisah “Semut dan Kepompong” ini memiliki nilai moral bahwa
kesombongan tidak akan mendatangkan kebaikan. Bila seseorang memiliki kelebihan
maka kelebihan tersebut harus disyukuri. Kelebihan yang diberikan tidak
digunakan untuk menghina dan merendahkan orang lain yang tidak memilikinya.
Tuhan telah memberikan kelebihan kepada setiap masing-masing makhluk hidup.
Dongeng tersebut juga mengajarkan pendengarnya untuk membalas kejahatan tidak
dengan kejahatan melainkan dengan kebaikan.
Setelah
dongeng, peserta dengan antusias menjawab setiap pertanyaan yang berkaitan
dengan dongeng tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk membuktikan sebagaimana
konsentrasi dan fokus dari anak-anak ketika mendengarkan dongeng. Hal ini
terbukti dari kemampuan anak-anak menjawab setiap pertanyaan dari panitia.
Peserta
yang ingin menjawab pertanyaan, selain mengangkat tangan, mereka juga diminta
untuk maju ke depan. Ini dimaksudkan agar mereka terlatih dan berani berbicara
di depan umum. Peserta yang tidak terlatih berbicara di depan umum, biasanya
merasa gugup dan grogi. Rasa gugup tersebut yang membuat suara seseorang
menjadi lemah dan gagap.
Tim pengabdian meminta peserta untuk
menceritakan kembali dongeng di hadapan teman-teman yang lain. Peserta berani
maju dan menceritakan kembali dongeng Semut dan Kepompong dengan lengkap dan
benar. Kegiatan menceritakan kembali yang dilakukan oleh peserta tersebut juga
sebagai salah satu cara untuk melatih kepercayaan diri dan keberanian berbicara
di depan umum.
Selain
mengajarkan public speaking dalam bentuk storytelling, Tim Pengabdian Kepada
Masyarakat FIKOM Untar juga mengajak peserta untuk berani berbicara di depan
umum dalam bentuk permainan. Peserta diminta untuk menebak kata/kalimat dengan
gerak. Mahasiswa FIKOM Untar mempraktikkan bahasa tubuh dalam bentuk gerakan
yang arus ditebak oleh para peserta. Peserta yang mampu menebak gerakan
tersebut, mendapatkan hadiah dari KPK.
Gerakan yang dipraktikkan mahasiswa
lekat dengan pengetahuan atau wawasan peserta seperti tokoh kartun Elza dalam
“Frozen”, Cinderella, Snow White; hewan berupa ikan, gajah, jerapah; aktivitas
seperti naik sepeda, pandangan pertama, dan Say No To Corruption atau Katakan
Tidak Pada Korupsi.
Saat
permainan tersebut dilakukan, peserta sangat antusias menebak. Mereka saling
berkompetisi untuk menebak gerakan yang ditunjukkan tim pengabdian. Permainan
tebak kata/kalimat dengan gerak ini bertujuan untuk melatih konsentrasi,
meningkatkan keaktifan peserta untuk berani menjawab/menebak, dan memacu
semangat peserta dalam berkompetisi.
Dari
kegiatan storytelling dan permainan ini, kemampuan public speaking dilihat dari
kemampuan peserta menceritakan kembali kisah yang sudah disampaikan, respon dan
antusiasme mereka saat mendengar dan menjawab pertanyaan. Ini adalah praktik
public speaking sederhana yang disesuaikan dengan usia anak-anak yang sebagian
besar masih duduk di bangku sekolah dasar.
Public
speaking adalah sebuah proses, sebuah tindakan dan seni dalam membentuk pidato
(speech) di hadapan audiens. Setiap orang sejak usia 10 hingga 90 tahun
mendapati diri mereka dalam situasi dimana mereka harus berbicara di depan
publik (Nikitina, 2011). Public speaking melibatkan pengiriman kata-kata kepada
audiens sebagaimanahalnya seorang juru bicara, untuk persoalan/isu tertentu.
Storytelling melibatkan video atau tulisan atau kisah pribadi tentang
pengalaman hidup dan menggunakan kisah tersebut untuk mempengaruhi
peserta(Compassion&Choices, 2017).
Seni
dalam berpidato di depan publik dielaborasi lebih dari 2000-an tahun oleh
filsuf Yunani Aristoteles yang mengemukakan “Three Basic Parts of Persuassion”.
Ketiga elemen kunci agar pembicara berhasil dalam public speaking yakni ethos
(kredibilitas atau pembicara), logos (logika dibalik setiap kesimpulan yang
digambarkan oleh pembicara), dan pathos atau daya tarik emosional atau
kemampuan untuk menciptakan koneksi antara pembicara dan audiensnya (Nikitina,
2011).
Seorang
pembicara yang tertarik untuk membujuk/mempengaruhi khalayaknya harus
mempertimbangkan tiga bukti retoris tersebut yaitu logika, emosi, dan etika.
Dalam Teori Retorika, ketika berhubungan dengan persuasi, retorika menjadi seni
penyusunan argumen dan pembuatan naskah pidato. Fokus retorika mencakup segala
cara manusia dalam menggunakan simbol untuk memengaruhi lingkungan di
sekitarnya dan untuk membangun dunia tempat mereka tinggal (West & Turner,
2010).
Salah
satu cara terbaik untuk melibatkan individu, keluarga dan komunitas adalah
melalui presentasi dan berbagi kisah pribadi tentang pengalaman hidup secara
mendalam(Compassion&Choices, 2017). Menggunakan kisah pribadi (personal
stories) sangat berpengaruh karena memberi audiens bahan baru. Bahan yang
disampaikan belum pernah didengar sebelumnya sehingga membuat audiens tertarik
untuk mendengar. Selain itu, penggunaan kisah pribadi secara alami akan
mempengaruhi emosi pembicara sehingga mempengaruhi audiens (Karia, 2013).
Komunikator
dalam hal ini pembicara memiliki banyak kesempatan untuk mempengaruhi
audiensnya antara lain dengan storytelling (bercerita), body language (bahasa
tubuh), tone of voice (nada suara), pauses (jeda), visual cues atau menggunakan
isyarat visual (Nikitina, 2011). Dalam hal ini, tim pengabdian masyarakat
menggunakan storytelling sebagai bentuk public speaking untuk untuk
mempengaruhi audiens.
Hal
ini bersandar pada dua asumsi dalam Teori Retorika bahwa: pertama, pembicaraan
yang efektif harus mempertimbangkan khalayak mereka. Dalam hal ini, pembicara
tidak boleh menyusun atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan
khalayak mereka.Pembicara harus memikirkan khalayak sebagai sekelompok orang
yang memiliki motivasi, keputusan, dan pilihan dan bukannya sebagai sekelompok
besar orang yang homogen dan serupa.Kedua, pembicaraan yang efektif menggunakan
beberapa bukti dalam presentasi mereka (West & Turner, 2010).
Tim
pengabdian menceritakan dongeng/kisah kepada peserta. Hal ini karena audiens
adalah anakanak panti asuhan usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Proses bercerita ini disertai dengan bahasa tubuh. Hal ini karena ada beberapa
komunikasi yang hanya bisa disampaikan dengan bahasa tubuh. Bahasa tubuh ini
meliputi ekspresi wajah, gerak tubuh, dan sentuhan (Adha, 2016).
Peserta
lalu menceritakan kembali apa yang disampaikan oleh pembicara. Cerita yang baik
ketika diceritakan akan menarik perhatian pendengar dan memiliki efek hipnotis.
Cara berkomunikasi dengan story telling ini justru akan menciptakan atmosfer
kepercayaan dan respon audiens (Nikitina, 2011). Hal ini terbukti dari respon
peserta ketika tim pengabdian masyarakat melakukan storytelling. Peserta
bersaing untuk menjawab pertanyaan, bahkan peserta mampu menceritakan lagi
kisah yang disampaikan.
Tidak
hanya menceritakan, pembicara juga melakukan dialog kepada peserta. Dialog
lebih kuat daripada narasi karena menempatkan audiense ke dalam babak/adegan
yang membuat mereka mendengar secara langsung apa yang dibicarakan. Dialog juga
lebih pendek dan lebih kuat daripada sekedar narasi. Dengan begitu, pesan yang
disampaikan akan lebih dinamis dan peserta ikut terlibat di dalamnya (Karia,
2013).
KESIMPULAN
Public
speaking merupakan kemampuan yang sebaiknya dikuasai sejak usia dini, dalam hal
ini.sejak anak-anak duduk di bangku sekolah. Dari pengamatan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat menunjukkan awalnya peserta masih pasif saat
menerima informasi. Agar berani berbicara di depan publik, anak-anak dibantu
dengan pemahaman yang sesuai dengan usia mereka.
Audiens
dalam kegiatan pengabdian pada masyarakat ini merupakan anak-anak sekolah
dasar. Oleh karena itu, pemahaman atau praktik public speaking disesuaikan
dengan kemampuan dan pemahaman mereka. Hal ini agar tercapai komunikasi yang
efektif.
Pembicara mengajarkan public
speaking dalam bentuk cerita (storytelling) dan permainan menggunakan bahasa
tubuh. Keberhasilan materi ini dilihat dari kemampuan peserta menceritakan
kembali kisah yang sudah disampaikan, respon dan antusiasme mereka saat
mendengar dan menjawab pertanyaan.
Dari
hasil kegiatan ini, peneliti menyarankan agar kegiatan pengabdian kepada
masyarakat serupa bisa dilakukan kepada guru atau pendamping anak-anak. Hal ini
karena inisiatif untuk mengajarkan public speaking di dalam kelas berasal dari
guru.
Comments
Post a Comment