STOP! KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK!

 

Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sebagai Bentuk Degradasi Moral

Oleh M Teguh Setyo

Kasus kekerasan seksual terhadap anak telah menjadi isu global dan ancaman yang sangat serius. Anak dianggap sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan apa yang dialaminya. Konten pornografi di media yang mudah diakses oleh siapa saja tanpa memandang batasan usia membawa pengaruh yang sangat besar. Kasus kekerasan seksual semacam ini sangat rentan terjadi dimana saja termasuk di Kabupaten Bangli. Media Informasi yang memberitakan kasus kekerasan seksual terhadap anak di wilayah Bangli baik itu persetubuhan atau pencabulan cukup membuat para pembaca terketuk hati nuraninya. Lebih menyedihkan lagi sebagian besar pelaku merupakan orang yang terdekat dengan korban, dimana anak yang seharusnya mendapat perlindungan akan tetapi dijadikan obyek pelampiasan kesenangan seksual oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

Kejahatan timbul jika ada kesempatan, ungkapan itulah yang tepat untuk menyatakan kasus yang menimpa siswi asal Tembuku Bangli yang masih duduk di bangku SMP tengah menginjak usia 14 tahun. Disetubuhi oleh kakeknya sendiri hingga hamil pada tahun 2017 lalu. Kasus tersebut merupakan bentuk pelanggaran delik adat yang menyangkut kesusilaan yang disebut Gamia Gamana yaitu suatu bentuk larangan terhadap hubungan seksual yang dilakukan antara mereka yang mempunyai hubungan darah dekat. Moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah, kontrol dan kurangnya kesadaran orang tua untuk membimbing serta mengawasi anak dan kurangnya pemahaman akan keberadaan hukum membuat kasus ini terjadi berulang-ulang dan perlu penanganan yang serius.

Media sosial mempengaruhi peningkatan kasus kekerasan seksual, banyak anak menjadi korban kekerasan seksual setelah mengenal dunia maya. Berdasarkan data di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bali, dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TPA), Tercatat Ratusan anak-anak di Bali menjadi korban kekerasan seksual setiap tahun. Ketua P2TP2A Kota Denpasar menyatakan dari banyak kasus yang diuangkap paling banyak terjadi di Kabupaten Bangli. Kasus perkawinan usia dini yang berujung poligami, rentan KDRT dan rumah tangga yang kurang harmonis.

Pengertian anak menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak masih didalam kandungan, sedangkan kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Kabupaten Bangli yang dikenal dengan hawanya yang sejuk namun tidak menyejukkan bagi anak-anak yang dirampas hak dan masa depannya yang berpengaruh pada psikologis, fisik, dan sosialnya.

Kondisi moralitas masyarakat dalam sebuah lingkungan juga mempengaruhi potensi kekerasan seksual yang signifikan. Individu dengan kesadaran moralitas yang tinggi tidak akan melakukan kekerasan seksual atau kejahatan lain kepada anak maupun masyarakat disekitarnya, bila kejahatan itu sering terjadi maka sudah dapat dikatakan sebagai bentuk kemerosotan moral atau yang lebih dikenal dengan degradasi moral. Moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan atau suatu cara hidup, sedangkan degradasi menurut KBBI adalah kemunduran, kemerosotan, penurunan, (tentang mutu, moral, pangkat dan sebagainya). Degradasi moral sebagai bentuk kemunduran, kemerosotan atau penurunan budi pekerti, akhlak seseorang atau sekelompok orang.

Pendidikan Karakter sebagai bentuk penanganan dari degradsi moral. Sebagai bentuk masalah sosial yang ada dimasyarakat menjadi ancaman bagi tulang punggung bangsa ini yang rapuh karna hancurnya moral. Keluarga harus mengambil alih dalam membendung runtuhnya tatanan moralitas dan menjadi tempat perlindungan yang aman bagi anak. itulah mengapa pendidikan karakter untuk membentuk sikap, akhlak, tabiat, kepribadian yang stabil dalam merespon situasi secara bermoral sangat penting baik di keluarga, sekolah dan masyarakat.

Pembuatan awig-awig desa pakraman tentang perilaku kejahatan seksual terhadap anak. Mengingat kasus yang terjadi di Bangli sebagian besar berada pada wilayah pedesaan. Sehingga selain pendidikan dan pengawasan oleh keluarga perlu juga adanya aturan atau hukum yang mengatur pada tingkat desa adat yaitu. Awig-awig desa pakraman yang merupakan hukum adat yang disusun dan harus ditaati oleh warga (masyarakat) pada suatu desa dapat mendukung dan memperkuat UU RI No 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada pasal 20 yang berbunyi

“Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali Berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggara perlindungan anak”. Dengan adanya awig-awigdesa pakraman ini, terdapat sangsi baik sekala maupun niskala bagi yang melanggar aturan sehingga diharapkan mampu melindungi hak asasi anak untuk dapat tumbuh dan berkembang layaknya anak pada umumnya.

Pelecehan seksual masih sering dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang perlu mendapat perhatian, meskipun pada kenyataannya pelecehan seksual dapat berdampak jauh pada kehidupan pribadi perempuan (korban) baik secara fisik maupun psikologis. Faktor yang menyebabkan adalah karena kejadian yang disebut “pelecehan seksual”, hal tersebut bervariasi dalam bentuk dan istansinya. Variasi tindakannya dapat berupa ajakan atau intimidasi verbal sampai dengan ancaman kekerasan fisik, yang kesemuanya dirasakan perempuan sebagai sasaran menjurus pada tindak sosial yang dikehendaki sehingga dianggap kekerasan dalam dirinya.

Pelecehan seksual di lingkungan kampus dapat terjadi karena sebagai lingkungan pendidikan yang ditandai oleh adanya ketimpangan kekuasaan dalam relasi gender, misalnya antara dosen laki-laki dan mahasiswi. Dosen mempunyai kekuasaan dalam menentukan banyak hal bagi mahasiswanya seperti dalam penentuan angka, nilai, dan pemberian tanda tangan skripsi/tesis. Di sisi lain, mahasiswa yang ingin menyelesaikan tugas sebaik dan secepat mungkin seringkali tidak berdaya karena perlakuan dosen.

Meskipun tidak semua dosen akan menyalahgunakan kekuasaannya, akan tetapi hal tersebut tidak dapat diingkari begitu saja khususnya dalam relasi gender antara dosen laki-laki dan mahasiswinya. Dalam lingkungan pendidikan tinggi, pelecehan seksual terwujud jika pihak yang memiliki kekuasaan berperilaku pada tindakan yang menjurus ke tindak seksual dan menimbulkan rasa tidak aman bagi yang kurang memiliki kekuasaan. Pelecehan seksual tidak perlu diartikan, adanya hubungan seksual diantara kedua belah pihak yang terlibat.

Sehubungan dampaknya pada kondisi psikologis korban, pelecehan seksual juga disebut sebagai little rapes meskipun pemerkosaan tidak harus menjadi bagian dari pelecehan seksual. Sebagaimana yang terjadi pada korban pemerkosaan, perempuan korban pelecehan seksual juga kehilangan dua kebutuhan dasarnya yaitu rasa aman dan rasa percaya pada orang lain ataupun pada dirinya sendiri.

Sebenarnya adanya hubungan kekuasaan yang timpang antara dosen dan mahasiswa atau pimpinan, staf/pegawai bahkan mahasiswa laki-laki merupakan ciri lingkungan pendidikan tinggi. Ketimpangan dalam relasi gender adalah hasil dari sosialisasi yang menempatkan laki-laki lebih superior dibandingkan dengan perempuan, dan berkontribusi dalam terjadinya pelecehan seksual. Sosialisasi nilai-nilai tersebut dapat berupa laki-laki harus gagah perkasa, harus berani bertindak dan bersifat agresif. Maskulinitas disamakan dengan dominasi laki-laki, pelecehan seksual merupakan bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Dalam hal pelecehan seksual bukanlah jumlahnya yang penting, melainkan peristiwanya. Bayangkan jika pelecehan tersebut terjadi pada adik, kakak, istri ataupun anak kita maka satu kejadian sudah cukup. Oleh karena dampaknya adalah menghancurkan harga diri, dan hari depan seorang yang kita cintai. Sehingga sebisa mungkin tindak pelecehan seksual ini tidak terjadi baik di lingkungan masyarakat, di tempat kerja, di kampus ataupun di mana saja.

Jika kita mengingat bahwa adanya pelecehan seksual yang terjadi dalam kampus baik itu dilakukan oleh civitas, pegawai, dosen atapun mahasiswa sekalipun yang diakibatkan adanya ketimpangan kekuasaan dalam relasi gender. Maka perlu ada kebijakan institusional mencegah kekerasan seksual, agar hal tersebut tidak terjadi pada perempuan-perempuan yang akibatnya berdampak pada diri dan psikisnya. Adanya kebijakan ini sangat penting, karena selain menjaga citra dari kampus tetapi juga menjaga hak-hak orang lain.

Berbagai penelitian menegaskan pelecehan seksual menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi psikologis dan sosial korban, serta pihak lain yang menyaksikan kejadian tersebut. Menurut Taiwo, Omale, & Omale yang mendiskusikan dampak negatif pelecehan seksual terhadap masalah-masalah kesehatan psikis, fisik dan gangguan perilaku yang dialami korban. Pelecehan seksual terhadap mahasiswa di lembaga pendidikan misalnya dapat menghambat atau mengancam pencapaian atau prestasi akademik korban, menyebabkan korban drop-out serta mendeskreditkan posisi lembaga pendidikan. Efek yang lebih jauh adalah terhambatnya pembangunan sumber daya manusia berkualitas karena pelecehan seksual di tempat kerja atau di sekolah menyebabkan korban terpaksa melayani permintaan atau pendekatan seksual, misalnya dari guru atau pimpinan kerja untuk kepentingan studi atau pekerjaan mereka.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpuklkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak baik berupa pelecehan, pencabulan dan persetubuhan masih rentan terjadi di Kabupaten Bangli dari tahun ke tahun dengan jumlah dan jenis kasus yang berbeda dan apabila tidak ditangani dengan tepat, tidak dipungkiri kasus yang sama akan terjadi di tahun sekarang maupun yang akan datang. Adapun penyebab kekerasan seksual terhadap anak yang meliputi kondisi internal individu, pengaruh tehnologi, kurangnya pendidikan kesusilaan dan pengawasan dalam keluarga, lingkungan, minimnya pendidikan seks, dan mekanisme peradilan pidana. Adapun solusi yang ditawarkan yaitu dengan sosialisasi pendidikan seks yang seimbang antara anak dan orang dewasa yang seimbang, pendidikan karakter sejak dini, memperkuat sistem hukum yang ada dengan membuat aturan tingkat desa adat yaitu pembuatan awig-awig desa pakraman tentang perilaku kejahatan seksual. Moralitas seseorang merupakan unsur pokok yang menentukan kualitas norma moral yaitu kebebasan, tanggungjawab dan suara hati. Semakin tinggi derajat kebebasan, tanggungjawab dan kemurnian suara hatinya semakin baik kualitas moral yang bersangkutan.

Harapan kedepan dari solusi yang ditawarkan yakni dapat memimalisir tindak kejahatan seksual terhadap anak. Dimana anak merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak hanya menjadi tanggungjawab orang tua tetapi juga keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Pemerintah daerah agar mampu menyisihkan anggarannya untuk membuat program-program terkait perlindungan anak.

"Blog ini ditulis oleh M Teguh Setyo yang merupakan mahasiswa bki angkatan 2021"

Comments

Popular posts from this blog

Mahasiswa BKI dan Dosen IAIN Kudus Laksanakan Trauma Healing di Ds. Ketanjung Kec. Karanganyar Kab. Demak

BKI Berbagi "ABATA TRA" (Ayo Berbagi Takjil & Trauma Healing)

RESUME GUBUK MENTORING