STOP BULLYING!
Berbicara Tentang Bullying
Oleh Rismafi Lailatin Nisa’
Saat kita mengakses media sosial secara lebih teratur, intimidasi
atau ancaman, baik yang dirasakan atau tidak, menjadi lebih umum. Selama
beberapa tahun terakhir, dunia maya dan dunia nyata sangat rajin membahas
kasus-kasus bullying. Tapi diskusi itu jelas tidak bisa mengurangi masalah
seminimal mungkin.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Mei 2019 lalu, semakin banyak kasus
perundungan yang dilaporkan masyarakat. Bahkan, kasus kekerasan di sekolah
merupakan yang tertinggi di antara kasus-kasus yang ditangani oleh Masyarakat.
Ini hanya sebuah insiden yang tertangkap pada apa yang terjadi di sekolah.
Sementara itu, perundungan orang dewasa juga bisa terjadi di kantor, tempat
umum, dan dunia maya. Bullying dianggap sebagai salah satu penyebab utama
penurunan psikologis pada individu. Sayangnya,
ini adalah kejadian sepele yang bisa kita taklukkan dan hancurkan dari
tanah dalam waktu singkat. Kita harus
sangat serius ketika membicarakan insiden intimidasi ini.
·
Pihak-pihak yang terlibat dalam bullying bukanlah pelaku dan
korban.
Terkait
pelecehan, saat ini kami hanya fokus pada pelaku dan korban. Faktanya, banyak
penelitian psikologis menunjukkan bahwa bullying sudah mendarah daging sehingga
mempengaruhi lebih dari dua aspek.
Dan Olveus, profesor
psikologi di University of Bergen di Norwegia, menggambarkan pelaku, follower (peleceh), active supporter
atau pendukung bullying, passive supporter (orang yang suka tetapi tidak memantau kasus
bullying), pemirsa (People who are tidak mengetahui kejadian bullying), potential witness (mereka yang
menyaksikan bullying tetapi tidak bisa berbuat apa-apa) dan defender (mereka yang melindungi
dan membela korban) ...
Ini menunjukkan bahwa bullying adalah kasus yang sangat sulit. Ya,
Anda sering harus menjadi pendukung pasif, bukan? Ada begitu banyak segi sehingga pada akhirnya ada
prasangka tentang siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang harus membantu.
Ini memaksa pelaku intimidasi untuk "menyerahkan" apa yang terjadi
pada mereka dan lebih memilih diam.
·
Karena terlalu sulit untuk diungkapkan
Ini seperti
berteriak di dunia yang tiba-tiba menjadi tuli, dan sangat sulit untuk
meyakinkan orang bahwa rekan kerja sedang diganggu. Beberapa orang menganggap
ini hanya "lelucon" dan tidak boleh dianggap enteng. Tapi siapa yang
tahu isi hati seorang pria?
Sekelompok peneliti dari University of Toronto mengkategorikan
mengapa begitu banyak anak tidak berani berbicara tentang bullying. Diantaranya,
dalam kebanyakan kasus, bullying tidak terjadi di tempat-tempat yang disentuh
orang lain, seperti gang sempit atau SNS.
Selain itu, banyak anak merasa bahwa orang dewasa tidak dapat membantu
mereka memecahkan masalah bullying mereka. Dia mungkin juga telah diancam oleh
intimidasi yang mencegahnya mencari bantuan. Di sisi lain, dia akan merasa
lebih lemah ketika dia memberi tahu orang dewasa tentang hal itu.
·
Membicarakannya dalam bentuk cerita lain bisa menjadi salah satu
obatnya.
Di situlah kekuatan fiksi
masuk. Faktanya adalah dapat berfungsi untuk menyembuhkan semua luka. Meskipun
banyak orang lebih percaya pada fiksi daripada kisah nyata, mendokumentasikan
insiden bullying dalam bentuk narasi adalah tindakan pencegahan yang efektif.
Berkomitmen untuk menjadi suara milenium dan Gen Z,
IDN Times memiliki pilar di jantung semua konten yang
dihasilkannya, termasuk perang melawan bullying. Dengan semangat memerangi
bullying di dunia maya dan di dunia nyata, yayasan ini bertujuan untuk
memberdayakan generasi muda Indonesia agar berani mandiri, percaya diri dan
menjadikan Indonesia negara yang disegani.
Tidak mudah mendapatkan simpati atas kejadian bullying ini. Ini
adalah salah satu cara terbaik untuk memasukkan ini ke dalam cerita pendek.
Sebagai bagian dari inisiatif ini, komunitas IDN Times akan mengundang penulis
komunitas untuk membantu memerangi bullying. IDN
Times Community Story Antology: Pilihan ratusan artikel dan 20 artikel teratas
yang dipublikasikan di Internet dari "Don't Call Me Slow" di platform
Storial.co.
Pada titik ini, kami berpendapat bahwa bentuk intimidasi hanya
sebatas kekerasan fisik. Apalagi bullying verbal meninggalkan bekas luka di
hati orang yang menderitanya. Mungkin sulit untuk menemukan potret seperti itu,
tetapi kisah para penulis cerita ini setidaknya membantu kita memahami bahwa
bullying tidak langsung muncul di luar, tetapi memahami apa yang dipikirkan
orang. penyintas.
Cerpen yang terpilih untuk antologi ini diedit oleh Arifina Budi
Aswati dan New Syantita, editor IDN
Times Writing Community. Karya-karya yang dipilih mengungkapkan cerita tidak
hanya dari perspektif mereka yang pernah mengalami bullying, tetapi juga dari
perspektif yang lebih luas. Dari sudut pandang pelaku bullying, hingga saksi
atau saksi yang menyaksikan bullying dan berusaha membantu korban.
Saya harap para pembaca mengetahui bahwa sekecil apapun kejadian
intimidasi atau intimidasi di antara 20 cerita tersebut, bukanlah kejadian yang
serius. Kasus ini begitu kompleks sehingga diperlukan tindakan strategis untuk
memitigasinya. Cerita yang ditulis oleh penulis komunitas diharapkan dapat
menjadi sumber dukungan bagi teman-teman yang di-bully. Ya, sulit untuk jujur. Bagaimanapun, Anda adalah
pahlawan terbesar dalam perang melawan intimidasi. Jadi jangan takut untuk
berbicara.
Jika sulit untuk berbicara, tulislah. Ini akan membuat luka lebih
cepat sembuh. Setiap orang dilahirkan istimewa, jadi jangan biarkan iblis atau
manusia di kepala Anda meruntuhkan
tembok kepercayaan diri yang telah Anda bangun dari waktu ke waktu.
Comments
Post a Comment